[Subsidi BBM] Trisakti Jadi Barang Dagangan, Arwah Bung Karno Menangis dalam Kuburnya

soekarno-penjajahan-bangsa-sendiri Pada Maret 2005 saat harga minyak internasional naik dari USD25 per barel menjadi USD60 per barel, Pemerintah mengambil kebijakan menaikan harga Premium dari Rp1.810 menjadi Rp2.400  perliter (naik 32 persen) dan Solar dari Rp 1.650 menjadi Rp 2.100 per liter (naik 27 persen). Lalu pada 1 Oktober 2005, harga Premium kembali naik dari Rp 2.400 menjadi Rp 4.500 per liter (naik 87 persen) dan harga solar naik dari Rp 2.100 menjadi Rp 4.300 per liter (naik 105 persen). Mungkin kita masih ingat, sebelum kenaikan itu terjadi, Presiden SBY menyatakan, “I don’t care with my popularity”. Kenaikan BBM ini mendorong saya mencermati harga pokok produksi BBM. Pertanyaan saya kepada teman-teman yang sudah bergelimang pengalaman di dunia bisnis itu adalah, berapa biaya pokok produksi premium ? Sayangnya, tidak ada yang memberi jawaban yang memuaskan. Maka saya baca ulang APBN dan akhirnya saya menyimpulkan sendiri bahwa harga pasar dari Premium adalah besarnya belanja subsidi yang ditetapkan Pemerintah dan DPR dalam APBN ditambah dengan harga yang dibayar masyarakat.

Ada lagi metode perhitungan lain. Yakni, harga minyak internasional yang diimpor ditambah delapan dolar AS sampai dengan 12 dolar AS dikali nilai tukar dibagi konversi barel ke liter. Atau jika diterjemahkan menurut asumsi (target) makro APBNP 2014 adalah, USD105 ditambah USD8 sama dengan USD 113 dikali 12.000 dibagi 159 menjadi Rp8.528 per liter, dibulatkan menjadi Rp8.550 perliter RON 88, mendekati dengan perhitungan Pertamina yang menegaskan bahwa harga RON 88 adalah Rp8.600 per liter sebagai harga pasar.

Perhitungan ini masih bisa diterima dan juga mendekati persetujuan DPR bahwa alpha untuk Pertamina senilai Rp746 perliter. Jika nilai tambahnya 10 kali lipat, maka harga jual sebelum pajak penjualan mencapai Rp7.500 perliter. Kalau ditambah dengan pajak 15 persen, maka harga akhir pemakai atau harga di SPBU mencapai Rp8.625. Tetapi jika menggunakan perhitungan jumlah kuota subsidi BBM sebesar 46 juta kilo liter sama dengan Rp246,5 T, maka subsidi perliter menjadi Rp5.358 perliter, dibulatkan menjadi Rp5.360 perliter. Harga jual akhirnya menjadi Rp5.360 ditambah harga yang dibayar masyarakat Rp6.500 sama dengan Rp11.860 perliter.

Di sini masalahnya, bahwa perhitungan subsidi Rp5.360 perliter itu memberi informasi adanya pihak-pihak tertentu yang memperoleh keuntungan luar biasa dari impor minyak mentah dan olahan dan penjualan (ekspor) minyak mentah Indonesia. Kenapa ? Karena bagaimana mungkin RON 88 bisa lebih mahal daripada Pertamax 92. Selain soal intervensi asing atas reformasi sektor enerji, alasan inilah yang sebenarnya saya gunakan ketika menjadi pembicara dalam Pansus BBM DPR-RI pada 4 September 2008.

Sayangnya, setelah 10 tahun saya mengkiritisi harga pokok produksi itu, Pemerintah tetap tidak menjelaskan bagaimana sebenarnya hitung-hitungan RON 88 dan Solar. Kenapa hal ini menjadi penting ? Karena amanat UUD 1945 pasal 33 ayat (1,2,3) dan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 15 Januari 2005 tentang pasal 28 UU No.22/2001 bahwa harga Migas ditetapkan Pemerintah. Atas putusan ini Pemerintahan SBY tidak tinggal diam. Terbitlah Perpres 5/2006 yang mengarahkan harga enerji menuju ke harga keekonomian (maksudnya harga pasar). Lalu diberlakukan pula UU No. 30/2007 tentang Enerji yang juga mengatur harga enerji sebagai harga keekonomian. Tidak puas dengan hal itu, diterbitkan pula Kebijakan Enerji Nasional berpayung Peraturan Pemerintah yang menyatakan harga enerji adalah harga keekonomian. Lihat, bukan hanya UU bidang politik yang berantakan. UU tentang enerji pun berantakan tidak keruan.

Maka pada saat Presiden Joko Widodo memutuskan kenaikan harga RON 88 dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 (naik 30,7 persen) saya mencermati berdasarkan kajian-kajian di atas. Dari aspek kenaikan harga, karena tanpa penjelasan harga pokok produksi, menurut saya Kabinet Kerja terlalu percaya diri untuk menunjukkan buruknya akuntabilitas publik. Prinsip good governance tidak terpenuhi. Selain itu, dibanding dengan situasi kenaikan BBM 2005, 2008 dan penurunan harga 2009, ditambah dengan tidak kompaknya Kemenkeu dengan Pertamina dalam soal harga pokok produksi RON 88, kenaikan BBM 18 November lalu berpotensi mengundang DPR melakukan interpelasi. Itulah sebabnya sejak awal saya menyampaikan, Pemerintahan JW-JK harus hati-hati mempertimbangkan kenaikan BBM.

Jika argumennya sempitnya ruang fiskal, maka selain beberapa cara harus ditempuh dalam mengoptimalkan pendapatan dan menghemat belanja, saya pun setuju atas kenaikan RON 88 hanya Rp1.000 perliter. Tujuannya, agar JW-JK tidak kehilangan muka secara eksternal dan internal. Ada hal lain yang patut dipertimbangkan.

Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin tahun anggaran 2014 yang tersisa 43 hari pada saat kebijakan menaikkan harga BBM bisa memberi ruang fiskal Rp100 triliun. Dari sudut turunnya harga minyak dunia mencapai USD75 per barel, perhitungan adalah USD105 dikurangi USD75 sama dengan USD30 dikali Rp2T sehingga APBNP menghemat Rp60T. Ini pun masih harus dihitung lagi, berapa sebenarnya harga rata-rata minyak internasional dengan merujuk mid oil plats singapore (MOPS) sehingga dalam hitungan tahun fiskal berjalan mustahil terdapat selisih lebih mencapai USD30 perbarel. Sementara dari kenaikan harga BBM, penghematan mencapai Rp10,8 T dengan merujuk kuota subsidi. Alhasil, jumlah penghematan sekitar Rp70,8 triliun. Hitungan ini bisa salah.

Tapi logika yang disampaikan Menkeu bahwa hasil penghematan dari kenaikan BBM itu mencapai Rp100 T sulit diterima. Beberapa wartawan yang mengkonfirmasi hitungan itu kepada menyatakan bahwa bisa jadi hitungan itu ‘asbun’. Saya tersenyum, karena memang tidak logis.

Argumen itulah yang membuat saya sulit mengerti, kenapa mesti terburu-buru menaikkan harga BBM. Kenapa membuat kebijakan yang memberi kesan delegitimasi DPR di tengah sistem politik sedang amburadul. Apakah dengan kenaikan harga BBM itu membuat Kabinet Kerja mampu menunjukkan prestasi luar biasa sehingga jejak SBY yang tidak peduli dengan kepopulerannya layak diikuti ? Apakah masyarakat memang harus membayar rasa percaya dan harapannya kepada JW-JK melalui kenaikan harga ini ?

Kalau alasannya untuk sehatnya APBN, maka kebijakan itu harus ditempuh, apakah dengan begitu APBNP 2014 lantas menjadi sehat? Sementara jika untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, kebijakan ini sama sekali bukan obat mujarab. Lalu apa yang mau dicapai JW-JK dengan kebijakan ini? Saya kira lebih karena keberhasilan tipu daya utang luar negeri sehingga kondisi domestik dikurbankan.

Jika dugaan ini benar, maka tegaknya konstitusi dan janji Trisakti hanya dalam hitungan empat pekan sejak dilantik telah pergi meninggalkan kenangan kampanye Pilpres 2014, Pidato Ketua Umum PDIP pada Rakernas 19 September 2014 di Semarang dan Pidato Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 20 Oktober 2014. Semoga Bung Karno tidak nelangsa di alam kubur sana menyaksikan konsep Trisaktinya ‘diperdagangkan dan di media sosial bermunculan “shame on you Jokowi“.

*Oleh pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy

Silahkan berkomentar cerdas...